Kode Etik Psikologi – Hukum dan Penjelasannya
Kode etik psikologi merupakan dasar perlindungan dari nilai
– nilai yang diterapkan. Kode etik bertujuan untuk menjamin
kesejahteraan umat manusia dan memberikan perlindungan terhadap layanan
masyarakat terkait praktek layanan psikologi.
Pengertian Kode Etik Psikologi
- Kode Etik menuruk Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan norma atau
nilai nilai yang diterima oleh suatu kelompok sebagai landasan dalam
bertingkah laku.
Kode etik psikologi pada hakekatnya mengandung nilai moral yang
bersifat umum dan menyeluruh dan disusun dengan memperhatikan aturan
internasional.
Fungsi Kode Etik Psikologi
Kode etik berfungsi sebagai landasan perlindungan dan pengembangan
sebuah profesi. Menurut Gibson kode etik menjadi pedoman pelaksanaan
tugas secara profesional bagi masyarakat. Biggs dan Blocker
mengungkapkan fungsi kode etik dibagi menjadi tiga yaitu :
- Melindungi suatu profesi (Psikologi).
- Mencegah perdebatan atau pertentangn internal dalam profesi.
- Melindungi pelaksana profesi dari kesalahan praktik psikologi.
I. Pedoman Umum
Pasal 1
- Kode Etik psikologi adalah seperangkat nilai nilai untuk ditaati dan
dijalankan dengan sebaik – baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai
psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
- Psikologi merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses
mental yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia.
Ahli, dalam ilmu psikologi dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu profesi
atau berkaitan dengan praktek psikologi dan ilmu psikologi termasuk
dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
- Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan
praktik psikologi dengan latar belakang S1 dan S2. Psikolog memiliki
kewenangan memberikan layanan psikologi meliputi konseling, penelitian,
pengajaran, supervisi, layanan masyarakat. Dan juga pengembangan
kebijakan, intervensi, pengembangan instrumen asesmen psikologi, dan
lainnya dan diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai ketentuan.
Pasal 2: Prinsip Umum
- Prinsip A : Penghormatan pada harkat martabat Manusia
- Prinsip B : Integritas dan Sikap Ilmiah
- Prinsip C : Profesional
- Prinsip D : Keadilan
- Prinsip E : Manfaat
II. Mengatasi Isu Etika
Pasal 3 : Majelis Psikologi Indonesia
Majelis psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan
pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan
profesi psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada
anggota maupun organisasi.
Pasal 4 : Penyalahgunaan di Bidang Psikologi
Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan
atau ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah
dirumuskan dalam koode etik psikologi Indonesia. Hal ini termasuk adalah
pelanggaran oleh psikolog terhadap sumpah profesi, praktik psikologi
yang dilakukan oleh mereka yang bukan psikolog, atau psikolog yang tidak
memiliki ijin praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku.
1. Pelanggaran ringan
Tindakan yang dilakukan oleh seorang psikolog atau ilmuwan psikologi
yang tidak dalam kondisi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan,
sehingga mengakibatkan kerugian bagi salah satu dari berikut ini: (1)
ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan
psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang
terkait.
2. Pelanggaran Sedang
Tindakan yang dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog karena
kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak
sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan
kerugian bagi : (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna
jasa layanan psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5)
pihak pihak yang terkait.
3. Pelanggaran Berat
Tindakan yang sengaja dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog
yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang
mengakibatkan kerugian pada : (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi;
(3) pengguna jasa layanan psikologi; (4) individu yang melakukan
pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.
Pasal 5 : Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila tanggung jawab etika psikologi bertentangan dengan
peraturan hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode.
Etik akan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai
dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Kemudian,
apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum,
peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.
(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik
Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib
menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap
kode etik dan jika memungkinkan menyelesaikan konflik tersebut dengan
berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode
etik.
(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna
layanan psikologi serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat
secara tertulis dan disertai bukti terkait ditujukan kepada Himpunan
Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi
Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme
tersendiri.
(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia
menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode
Etik. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan
investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk
dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam
organisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip
kerahasiaan.
(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia,
Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi
masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur
sebagai berikut: a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran c.
Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran
(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang
dipandang melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang
bersangkutan dan data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis
Psikologi akan mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran
tersebut.
(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis
psikologi tidak puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila
dipandang perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah
terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi untuk membahas masalah
tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan
sesuai dengan kepentingan.
Pasal 6 : Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak
siapapun yang mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika.
Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.
III. Kompetensi
Pasal 7 : Ruang Lingkup Kompetensi
- Ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar,
melakukan penelitian dan/ atau intervensi sosial dalam area sebatas
kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai
dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi
terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan
setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan
pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah
dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan.
- Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu
atau cakupan kasuskasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS,
kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan
(berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku,
budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting
untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui
berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau
supervisi terbimbing untuk memastikan kompetensi dalam memberikan
pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam
situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
- Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki
standar baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi
serta pihak lain yang terkait.
- Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi
psikologi sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum
yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum pidana, sehubungan dengan
kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8 : Peningkatan Kompetensi
Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang
berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.
Pasal 9 : Asas Kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak
pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian
jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai
jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian
jasa/praktik psikologi.
Pasal 10 : Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Interpretasi hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai
jasa psikologi hanya boleh dilakukan oleh Psikolog berdasarkan
kompetensi dan kewenangan.
Pasal 11 : Masalah dan Konflik Personal
(1) Psikolog atau ilmuwan psikologi sadar bahwa masalah dan konflik
pribadi mereka akan dapat mempengaruhi kefefektifan kerja. Kemudian,
dalam hal ini, psikolog atau ilmuwan psikologi mampu membentengi diri
dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta
pihak lain yang terlibat. Dan juga sebagai akibat dari masalah atau
konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog atau ilmuwan psikologi berkewajiban untuk waspada
terhadap tanda – tanda adanya masalah atau konflik pribadi. Kemudian,
apabila hal ini terjadi, secepat mungkin mencari bantuan dengan
melakukan konsultasi yang efektif agar dapat kembali melakukan
pekerjaannya dengan cepat. Psikologi juga dapat membatasi, menangguhkan,
bahkan menghentikan kewajiban dari layanan psikologi tersebut.
Pasal 12 : Pemberian layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat
(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan
mental dan/atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak
tersedia tenaga Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki
kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang
ada tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang belum memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan
layanan psikologi untuk memastikan bahwa kebutuhan layanan psikologi
tersebut tidak ditolak.
(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang
dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk
mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten
telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian
layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten
atau dihentikan segera.
IV. Hubungan Antar Manusia
Pasal 13 : Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan
psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau
organisasi/ institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya
serta berkewajiban untuk:
- a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
- b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
- c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya.
- d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan
tersebut.
- e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan
terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian
layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.
Pasal 14 : Pelecehan
(1) Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam
penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup
dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik,
perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi
dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku
yang intens/parah, atau perilaku yang berulang, bertahan/sangat meresap,
serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini
adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
- (a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati
atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung
permusuhan yang dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
- (b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut,
- (c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau
patut diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
Pasal 15 : Penghindaran Dampak Buruk
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang
masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna
layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja
mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak
terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti
ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat
harus mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pasal 16 : Penggunaan dan Penguasaan Sarana Pengukuran
- a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib membuat kesepakatan dengan
lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai halhal yang
berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan, penguasaan
sarana pengukuran. Ketentuan mengenai hal ini diatur tersendiri.
- b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menjaga agar sarana
pengukuran agar tidak dipergunakan oleh orang-orang yang tidak berwenang
dan yang tidak berkompeten.
Pasal 17 : Konflik Kepentingan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran
profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum,
finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak
objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan
fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk
bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan
pengguna layanan psikologi tersebut.
Pasal 18 : Eksploitasi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu:
- Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang
sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka,
seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani
pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.
- Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan
mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau otoritas
langsung.
- Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.
(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak
melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau
eksploitasi data dari mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau
berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan
penelitian, pengguna jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada
di bawah penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi
digunakan untuk kepentingan pribadi. Hubungan sebagaimana tercantum pada
(1) dan (2) harus dihindari karena sangat mempengaruhi penilaian
masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ataupun mengarah
pada eksploitasi.
Pasal 19 : Hubungan Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk
hubungan profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.
(1) Hubungan antar profesi
- a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati
dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat
akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
- b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan
umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.
- c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan
profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik
psikologi.
- d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar
batas kompetensi dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak
berhasil dilakukan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi.
(2) Hubungan dengan Profesi lain
- a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain.
- b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya
pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan.
Pasal 20 : Informed Consent
Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian/
pendidikan/ pelatihan/ asesmen/ intervensi yang melibatkan manusia harus
disertai dengan informed consent. Informed Consent adalah persetujuan
dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi
penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi.
Persetujuan dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh
orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan
saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:
- Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
- Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
- Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
- Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
- Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
- Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.
Pasal 22 : Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan
kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila
terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami
penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain.
Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut
dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya
tidak memungkinkan.
(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
- a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal.
- b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
- c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
- d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.
(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila:
- a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah dilakukan.
- b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang
menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada
salah satu atau kedua belah pihak.